KESEPAKATAN
KELAS
SEBAGAI
BENTUK PENANAMAN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH
oleh
Khairul Akbar
Calon Guru Penggerak Angkatan 2
Kabupaten Lombok Tengah
Provinsi NTB
2021
A. Latar Belakang
Telah menjadi kegelisahan semua insan pendidik di
Indonesia melihat fenomena yang muncul di berbagai pemberitan media mengenai
aksi-aksi negatif yang dilakukan oleh sebagian pelajar, seperti perkelahian
antar pelajar, aksi vandalisme, hujat
menghujat di media sosial, dan banyak lagi hal negatif lainnya. Fenomena
tersebut tentu membuat citra yang tidak baik bagi lembaga-lembaga pendidikan.
Hal tersebut sesungguhnya harus menjadi refleksi bagi semua lembaga pendidikan.
Guru sebagai elemen penting pada lembaga pendidikan tentunya memiliki andil
besar dalam upaya mengembalikan citra pendidikan agar makna pendidikan yang
sesungguhnya kembali hadir di masyarakat.
Makna pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara (KHD) adalah “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya” (Dewantara, 1962:20). Menurut
KHD peran guru adalah menuntun siswa agar mereka kelak di masa depan memperoleh
kebahagiaan dan keselamatan tidak hanya untuk diri sendiri namun dalam
bermasyarakat. Maka, untuk mencapai hal tersebut, guru diharapkan tidak hanya
mengajarkan aspek kognitif saja, namun tidak kalah pentingnya adalah menuntun
siswa untuk membiasakan memunculkan nilai-nilai baik atau karakter positif dalam
kesehariannya.
Terkait dengan karakter siswa, pendidikan
di Indonesia mengamanatkan agar siswa memiliki karakter yang mengacu pada
Profil Pelajar Pancasila sesuai dengan Visi dan Misi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 22 Tahun 2020. Profil tersebut terdiri dari enam dimensi yaitu : 1)
berkebhinekaan global; 2) bergotong royong; 3) kretaif; 4) bernalar kritis; 5)
mandiri; dan 6) beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia.
Melihat keenam profil tersebut, maka tidak salah jika harapannya ke depan
adalah setiap murid akan sukses secara moral dan akademik, baik di sekolah
maupun di masyarakat secara global.
Sebagai upaya mewujudkan profil Pelajar
Pancasila pada siswa di sekolah, maka salah satu aksi yang dapat dilakukan oleh
guru adalah menerapkan budaya positif. Budaya positif adalah nilai-nilai,
keyakinan, kebiasaan yang berpihak pada murid agar murid berkembang menjadi
pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggungjawab. Langkah awal untuk
membiasakan budaya positif pada siswa adalah dengan membuat kesepakatan kelas.
Kesepakatan kelas merupakan aturan yang disusun bersama antara guru dengan
murid yang bertujuan untuk menjadikan iklim belajar yang efektif di kelas dan
di sekolah.
B. Penyusunan Kesepakatan Kelas
Setelah mengikuti kegiatan Lokakarya Perdana Diklat
Calon Guru Penggerak angkatan 2 Kabupaten Lombok Tengah pada tanggal 10 April
2021 di D’Max Hotel Praya Lombok Tengah NTB, saya mendapat pelajaran baru dari
proses penyusunan kesepakatan kelas yang dipandu oleh Pengajar Praktek Dr. Sri
Rejeki dan M. Hakiki, M.Pd. Kesepakatan kelas tersebut disusun bersama oleh
peserta Lokakarya dengan Pengajar Praktek sebagai panduan dan aturan bersama
untuk kelancaran kegiatan Lokakarya. Kesepakatan kelas tersebut berisi aturan mengenai
disiplin terhadap alokasi waktu setiap materi, ketertiban kelas dan kebersihan
kelas.
Berdasarkan pelajaran yang saya
peroleh tersebut kemudian dengan inisiatif pribadi, saya mencoba untuk menerapkan
di kelas Matematika di sekolah tempat saya bertugas yaitu di SMP Negeri 2 Praya
Barat Daya, Kabupaten Lombok tengah, NTB. Kesepakatan kelas yang disusun adalah
sesuai dengan pemahaman awal saya tentang kesepakatan kelas sebelum saya
mempelajari materi Budaya Positif pada modul 1.4 Diklat Calon Guru Penggerak adalah
bahwa kesepakatan kelas merupakan kesepakatan bersama antara semua siswa yang
memuat tentang aturan/tata tertib dalam proses pembelajaran yang disertai dengan sanksi yang diterima
jika kesepakatan tersebut dilanggar oleh siswa. Dengan demikian, kesepakatan
kelas yang disusun masih memuat sanksi dan menggunakan kalimat negatif.
Diskusi penyusunan kesepakatan kelas dimulai
dengan dipimpin oleh guru di dalam kelas. Karena kesepakatan kelas ini
merupakan hal baru bagi siswa, maka terlebih dahulu saya memberikan pengarahan
terkait dengan pengertian kesepakatan kelas. Setiap siswa diberikan kesempatan
untuk mengeluarkan pendapat baik poin
kesepakatan kelas maupun sanksi yang menyertainya jika dilanggar. Banyak siswa
yang meminta sanksi dalam bentuk hukuman fisik seperti push-up, lari di lapangan sekolah, dan sebagainya. Namun, saya
mengarahkan siswa agar sanksi tidak dalam bentuk hukuman fisik. Saya mengajak
siswa memikirkan sanksi yang terbaik dan memiliki kebermanfaatan bagi semua
siswa. Maka, disepakati beberapa sanksi yang diterapkan adalah berupa denda
dalam bentuk uang dimana disepakati denda tersebut nantinya akan dipergunakan
untuk membeli kebutuhan kelas seperti poster gambar Pahlawan Nasional,
alat-alat kebersihan dan sejenisnya. Adapun kesepakatan kelas yang disusun
bersama disajikan pada Gambar 1.
Selama dua bulan diterapkannya kesepakatan kelas tersebut yaitu sejak bulan April 2021 sampai bulan Juni 2021, terlihat beberapa perubahan dari siswa. Siswa lebih peduli terhadap keterlaksanaan kesepakatan tersebut. Item kesepakatan kelas yang terlihat efektif adalah item pertama yaitu mengenai penggunaan masker di kelas. Jika sebelum adanya kesepaatan kelas, siswa yang tidak memakai masker tidak dibolehkan mengikuti pelajaran, maka sejak kesepakatan tersebut disusun terlihat siswa menggunakan masker semua. Andaipun terdapat siswa yang tidak memakai masker maka konsekuensinya siswa tersebut harus pergi ke luar sekolah untuk membeli masker dan kembali masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran.
C. Evaluasi Kesepakatan Kelas
Setelah mempelajari modul 1.4 Diklat Calon Guru Penggerak tentang Budaya Positif pada Minggu ketiga Bulan Juni 2021, maka saya memahami tentang konsep kesepakatan kelas yang sesungguhnya. Konsep kesepakatan kelas yang sesuai dengan Modul 1.4 adalah menggunakan kalimat positif dan tidak menyertakan sanksi. Maka, kesepakatan kelas yang telah disusun oleh siswa beserta guru pada bulan April 2021 perlu dilakukan evaluasi dan revisi kembali. Karena siswa sedang libur akhir semester, maka saya mengajak siswa berdiskusi secara daring melalui grup WhatsApp untuk menyusun kembali kesepakatan kelas sesuai dengan konsep Budaya Positif pada Modul 1.4 Guru Penggerak.
Diskusi penyusunan kesepakatan kelas diawali dengan saya memberikan contoh sebuah poster kesepakatan kelas dengan konsep budaya positif, dan saya memberikan penjelasan mengenai konsep kesepakatan yang seharusnya. Untuk memudahkan pemahaman siswa, saya membantu dengan menyusun poin pertama yaitu “kami menjaga kebersihan kelas”. Melihat kalimat kesepakatan kelas yang saya sebutkan, maka salah seorang siswa menuliskan pendapatnya “kami selalu mematuhi protokol kesehatan”. Siswa lain juga mengikuti dengan menuliskan kesepakatan yang ketiga yaitu “kami selalu disiplin dalam belajar”, silanjutkan dengan “dating tepat waktu” dan poin terakhir adalah “kami selalu bertanggungjawab dalam menggunakan fasilitas sekolah”. Adapun suasana diskusi secara daring dapat dilihat pada Gambar 2.
Langkah selanjutnya adalah menyimpulkan dan menyusun
kesepakatan kelas tersebut dalam bentuk poster. Psoter kesepakatan kelas
terlihat pada Gambar 3.
Daftar
Pustaka
Dewantara, K.,
H., (1962). Karya Bagian I: Pendidikan.
Yogyakarta: MLPTS.
Mendikbud. (2020). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar